petropolisinc.org – Delapan puluh tahun setelah serangan bom api terakhir oleh Amerika Serikat ke kota Jepang, Kumagaya, bekas luka peristiwa tersebut masih terasa. Pada malam 14-15 Agustus 1945, sekitar 90 pesawat B-29 menjatuhkan sekitar 6.000 ton bahan bakar jellied, dikenal sebagai napalm, menyebabkan kebakaran yang menghanguskan kota dalam hitungan jam. Sekitar 260 orang tewas, dan ribuan lainnya terluka, meninggalkan kira-kira 75% dari populasi 47.000 orang dalam kehancuran.
Kazumi Yoneda, seorang warga Kumagaya yang lahir pada hari itu, menulis puisi bernama “The Day I Was Born,” menggambarkan penderitaan yang dialami ibunya saat melahirkan di tengah kehancuran. Penyerangan itu terjadi kurang dari 12 jam sebelum pengumuman menyerahnya Jepang oleh Kaisar Hirohito, menandai akhir Perang Dunia II.
Serangan ini merupakan bagian dari kampanye yang dimulai pada Februari 1945 di bawah komando Jenderal Curtis LeMay. Meskipun banyak awak pesawat meragukan pentingnya target, mereka tetap melanjutkan misi untuk menghancurkan infrastruktur militer yang dianggap penting.
Kumagaya tak mungkin dihindari dari serangan yang bersifat acak, dengan beberapa warga masih menyimpan kenangan pahit. Salah satu penyintas, Kazue Hojo, berbagi kenangannya saat berusia tujuh tahun, melarikan diri dari serangan sambil terluka. Saat ini, di Kumagaya yang berpenduduk hampir 200.000 jiwa, memorial didirikan untuk mengenang para korban.
Di tengah perubahan zaman, cerita para penyintas hidup sebagai pengingat akan tragedi dan pentingnya perdamaian. Susumu Fujino, seorang penyintas yang kini berusia 83 tahun, berusaha melestarikan tanaman lokal sebagai simbol perdamaian. Meskipun luka sejarah masih membekas, masyarakat Kumagaya bertekad untuk mengenang masa lalu sambil membangun masa depan yang damai.